Header Ads

Main ala anak kampung

Alhamdulillah, pujian itulah yang dapat kami ucapkan ketika kami sekeluarga bisa pulang kampung dikesempatan lebaran tahun 2016 ini, saya sendiri mengambil cuti dari perusahaan selama tiga minggu sedang istri dan anak-anak saya lebih lama lagi di kampung karena mereka pulang duluan dari pada saya, maklum untuk mensiasati biar terhindar dari tiket yang mahal, selain itu istri saya adalah seorang ibu rumah tangga tulen jadi tidak terikat suatu instansi resmi atau perusahaan dan lagi anak-anak saya belum masuk masa sekolah, jadi kami memanfaatkan libur lebaran ini sebaik mungkin.

Banyak hal yang menyenangkan yang kami lakukan saat pulang kampung, dari acara silaturahmi, reuni, jalan-jalan dan lain sebagainya. Dan dikesempatan ini saya mau menceritakan sepenggal cerita tentang anak-anak saya , tentang aktifitas mereka atau lebih tepatnya adalah aktifitas main mereka saat berada di rumah neneknya di kampung.

Mereka begitu gembira bermain di lingkungan rumah yang tenang dan sejuk ini, mereka bermain main dengan kawan-kawan barunya. Permainan disini berbeda dengan mainan mereka saat masih di kota kami, Kota Batam(kota nih yee). Yang biasa anak-anak kami hanya main smartphone dan nonton televisi, sekarang di rumah neneknya mereka seperti ayam baru lepas dari kandang yang lari kesana kemari. Mereka bermain dengan kawan sebayanya yaitu mainan anak kampung sini, seperti permainan ayahnya dahulu.

Syifqon mengejar kucing dan ayam


Dan mainan apakah yang telah dilakukan oleh anak-anak saya saat itu? Mari saya tunjukkan satu persatu.

Bo’bo’ti

Ah kata apa ini? Ya ini adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa yang biasa diucapkan atau dinyanyikan ketika anak-anak di sini sedang bermain untuk membuat cetakan-cetakan kue dari tanah. Jadi akhirnya anak-anak disini menyebut permainan ini dengan sebutan Bo’bo’ti . seperti ini mainnya, anak-anak ini biasanya menggunakan wadah-wadah kecil dari plastik bekas tempat sabun, mentega, kaleng susu dan sebagainya buat menampung tanah yang telah dikumpulkan dengan mengeruknya menggunakan sendok, kreweng( pecahan genteng) atau alat lainnya, tanah dimasukkan kedalam wadah-wadah tersebut dan dipadatkan dan setelah padat lalu dibalik demi mencetak macam-macam kue-kuean yang terbuat dari tanah tersebut. Demi mendapatkan bentuk kue yang padat, maksimal dan bagus anak-anak tersebut memukul-mukul wadah-wadah tesebut sambil bernyanyi 

“ bo’bo’ti, bo’bo’ti, bo’bo’ti dadio roti” yang artinya “

bo’bo’ti, bo’bo’ti, bo’bo’ti jadilah roti” 

dan nyanyian ini diulang-ulang hingga wadah-wadah tersebut diangkat sehingga tanah-tanah tersebut tercetak menjadi semacam kue-kuean.

Kak Yumna dan Syifqon main Bo,bo,ti


Ayam

Ha..ayam…! Inilah termasuk kegiatan atau mainan kesukaan anak saya, maklum di tempat tinggal kami di Batam tidak ada yang punya ayam( gimana punya ayam , tinggalnya saja di rumah susun lantai tiga hehe) dan ada yang punya tapi bukan di rusun tapi di tempat yang jauh dan kita hanya bisa melihat saja. Disini di rumah neneknya, anak- anak suka mengejar ayam kesana kemari untuk  ditangkapnya. Maklum neneknya banyak memelihara ayam kampung. Hal yang saya suka lihat adalah ketika si adek bersama- sama neneknya memberi makan ayam bersama-sama, awalnya si adek takut-takut karena saat kesempatan pertama tangannya pernah di patok ayam (mungkin jarinya kecil-kecil mirip pakan ayam ya? Hehe..) akhirnya lama kelamaan dia berani dan bergembira.

Bersama nenek kasih makan ayam


Kuda lumping, banteng dan Jepaplok

Permainan ini biasanya di mainkan anak cowok , jadi anak-anak saya melihat saja ketika kawan-kawannya beraksi. Permainan ini sangat familiar disini. Karena anak-anak mudah menirukan apa-apa yang mereka anggap menarik , mereka memainkan ini lengkap dengan alat tabuhannya entah dari ember, panci bekas dan alat lainnya yang dipukul-pukul layaknya seni kuda lumping sesungguhnya. 

Permainan ini mudah ditirukan dan disukai karena di kampung kami seringnya orang mengundang grup kesenian ini bila ada yang sedang punya hajatan, bahkan takbir keliling hari raya pun diarak dengan kuda lumping, banteng juga jepaplok hehe…maklum kesenian rakyat. Untuk kesenian atau permainan kuda lumping, semua pasti sudah maklum, kalau banteng dan jepaplok masih jarang yang tahu, banteng dan jepaplok model mainnya sama dengan barongsai, dimainkan oleh dua orang, banteng mainnya sruduk sana sruduk sini, kalua jepaplok hanya memainkan semacam mulut naga( naganya ala orang Jawa hahe) jadi akan keluar suara plok plok plok ...jadi permainan inilah yang suka ditiru anak-anak cowok disini.

Anak-anak cowok main banteng dan jepaplok


Dodolan

Dodolan berasal dari kata dodol yang artinya jual (ini bukan kue dodol khas Bandung itu yaaa!)kalau dodolan berarti jualan atau pasar-pasaran. Main model ini bisanya dilakukan oleh anak-anak cewek, karena selain mereka dodolan mereka juga main masak-masakan. Media mainanya biasanya macam-macam daun, baik yang kering atau masih basah yang mereka pergunakan sebagai sayur-sayuran. Untuk jual belinya kadang-kadang daun itu juga sebagai uangnya. Karena jarangnya anak cewek disini maka anak saya mainnya pun dengan sepupu dan saudara lainnya. Senang melihat mereka saling berinteraksi dan terlihat akrab, kadang ada sedikit kendala dalam berkomunikasi karena anak saya tidak bisa berbahasa jawa dan juga sebaliknya kawan barunya tidak bisa berbahasa Indonesia, terpaksa ayahnya sebagai penerjemahnya haaa… dan anak saya akhirnya bisa berbahasa jawa walau hanya satu kalimat “ lungguh kene sik” yang artinya duduk sini dulu. Jadi kemana- mana kalau ketemu kawannya perkataan itu terus yang diucapkan hehehe…!

Dodolan alias pasar pasaran 


Ketam

Demi mengenalkan lingkungan kampung, saya terkadang membawa anak-anak saya ke sawah yang jaraknya cukup dekat dengan rumah kami, maklum kampung kami terletak di tengah persawahan, saya ajak mereka melihat tanaman-tanaman yang di sawah seperti tebu, padi, jagung, terung, singkong dan tanaman kacang-kacangan lainnya, juga kadang-kadang mengunjungi kakeknya yang sedang menyiram tanaman kacang di tepi sungai. Si kakak masih mau jalan di pematang sawah sedang si adek sama sekali tak mau, mungkin kakinya geli dengan rumput-rumput tinggi yang kadang masih basah karena embun. Jadi mintanya digendong terus.

Ayah, Syifqon dan Yumna saat kunjungi kakek di sawah


Sewaktu melihat kakek di sawah mereka juga tertarik dengan banyaknya lubang- lubang yang mereka anggap aneh di sawah, ya lubang-lubang yang dihuni oleh ketam sawah atau Yuyu istilah Jawanya. Mereka senang ketika saya tangkapkan satu dan dibawa pulang untuk mereka.

Wah ayah tangkap kepiting, asyikk” ujar si kakak.

Bukan kakak, ini bukan kepiting, kalau yang hidup di sawah ini ketam namanya, kalau yang hidup di laut kepiting namanya, mereka memang mirip karena masih saudara hehe!” jawab saya sekenanya.

Kalau lihat dan main ketam ini, mereka harus saya awasi karena bahaya kalau tidak diawasi bisa dijepit dengan capitnya yang besar. Kalau bercerita tentang ketam dulu warga kampung sini sering memasaknya untuk lauk, mereka sebut lauk Bobor, lauknya mirip mirip kare dengan bumbu santan plus parutan kelapa, berwarna kuning sedap memang baunya tapi keluarga kami melarang makan- makanan tersebut karena belum jelas kehalalannya.

Kompak main ketam




Lempung

Kamipun mengembalikan ketam ke habitatnya di sawah setelah anak-anak saya puas bermain dengannya, kami lanjut dengan mengambil sebongkah tanah liat(lempung) di sawah.

Ini apa yah, untuk apa yah?” tanya si kakak keheranan.

Ini lempung untuk mainan juga, nanti ayah kasih tahu di rumah ya” jawab saya menyenangkan si kakak.

Sesampai di rumah kamipun bermain lempung, lagi lagi anak-anak saya heran, walaupun begitu mereka tampak senang, dan ini adalah suatu hal baru bagi mereka. Walau tangan belepotan dengan lempung yang berwarna kehitaman, saya tak mempermasalahkannya yang penting mereka senang.

Kak Yumna dan ayahnya sedang main lempung


Macam-macam bentuk benda kami buat seperti kambing, pesawat, ayam, meja, kursi, orang komplit dengan ranjang tidurnya.

Saya senang mereka mau berkreasi walau tidak bagus-bagus amat. Si kakak paling suka membuat orang-orangan sedang si adik belum bisa buat apa-apa alias pegang-pegang saja, jadi ayahnya juga yang beraksi dan si adek paling suka dengan pesawatnya. Nenek mereka pun suka melihat tingkah polah kami ketika main lempung ini. 

Dulu waktu kecil saya paling suka main lempung dengan kawan-kawan, bahkan waktu masih SD ada pelajaran kerajinan tangan dari bahan lempung ini, suka deh pokoknya saat itu. Kalau sekarang mungkin sudah jarang yang main lempung seperti ini, mungkin gak jamannya lagi ya? Kalau di kota besar karena tidak ada lempung mungkin yang dipakai adalah bahan tiruan lempung buatan pabrik, saya menyebutnya plastercine(modelling clay). Di kampung saya boro-boro ada yang punya mainan begituan, lihat saja belum pernah hehe.

Modelling clay buatan pabrik, tiruan dari lempung 


Sebenarnya masih banyak lagi mainan tradisional yang belum saya kenalkan pada anak-anak saya saat itu, seperti jedulan, tembak-tembakan dari pelepah pisang, brekbrekan, mobil-mobilan dari bambu, jentik, dakon dan sebagainya. Mungkin dikesempatan depan.

Demikian sepenggal cerita dari kampung saat lebaran, saya pribadi sangat senang ketika anak-anak saya bisa main dengan kawan-kawan sebayanya demi menumbuhkan jiwa sosail dan kerjasama dengan lainnya, tidak melulu didepan televisi dan serius dengan main game di gadjet saja yang lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.





Catatan:

Bo’bo’ti = huruf O disini dilafalkan seperti kalau menyebut majalah “Bobo”

Kene = huruf E disini dilafalkan seperti kalau menyebut kata “lotre”

Kreweng & brekbrekan = huruf E disini dilafakan seperti kalau menyebut kata”cewek”

Bobor = huruf O disini dilafalkan seperti kalau menyebut kata” coca cola”





Cerita ini saya tulis pada sore hari sambil mendengarkan lagu Roma Irama “ Yun di Ayun”






Wassalam



Howgh!









11 komentar:

  1. Permainan-permainan tradisional begini wajib dilestarikan. Jangan sampe terganti dan hilang gara-gara smart phone.

    BalasHapus
  2. Bahagia menjadi anak-anak. Banyak hal biasa bagi orang tua namun menjadi luar biasa bagi mereka. Permainan lokal seperti ini harus tetap lestari.

    BalasHapus
  3. Mantap mas maes,tinggal cerpenya yg ketemu sama konco2 di tulungagung yg nongol

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Di tunggu cerpen nya pas ketemu konco2 t.agung

    BalasHapus
  6. Di tunggu cerpen nya pas ketemu konco2 t.agung

    BalasHapus
  7. Mantap mas maes,tinggal cerpenya yg ketemu sama konco2 di tulungagung yg nongol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah mampir kawan-kawan, sebenarnya permainan tersebut bagi anak di desa adalah biasa, dan terasa luar biasa bagi kami yang tidak sedang tinggal di desa atau kampung.

      Hapus
  8. kangen banget liat anak-anak dikota main ala anak "kampung" atau kita jaman dulu yang engga mengharuskan memegang gadget ya haha

    #salamkenalMas :D
    mampir ke blog saya hehe :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asoka, iya itung itung nastalgia ayahnya yang asli anak kampung....thanks for visiting

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.